Beranda | Artikel
Deklarasi Khilafah Islamiyyah Antara Perspektif Syariat dan Realita
Rabu, 20 Agustus 2014

Segalapuji milik Allah rabbul ‘alamin, shalawat dan salam atas Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du:

Khilafah Islamiyyah dan menyatukan seluruh umat Islam di bawah naungan satu penguasa yang menghukumi mereka dengan syariat Allah diatas manhaj Nubuwwah adalah cita-cita yang agung, setiap muslim menghendakinya dalam kehidupan ini. Hal diatas merupakan tujuan Islam yang agung, wujud persatuan yang tertinggi yang Allah dan rasul-Nya perintahkan. Allah berfirman (yang artinya),

Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al Mu’minun: 51)

dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.”(QS. Ali Imran: 103)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal dan membenci tiga hal: ridha kepada kalian jika kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, dan kamu semuanya berpegang teguh kepada tali (agama) Allah serta tidak bercerai berai…” (HR Muslim: 1715)

Para ulama sepakat (ijmak) atas wajibnya mengangkat seorang pemimpin untuk kaum muslimim. Diantara ulama yang mentransmisi ijmak (konsensus) adalah Al Mawardi dalam “al Ahkaam al Sulthaniyyah”, hal. 15, Abul Ma’aaly al Juwainy dalam “Ghiyaatsu al Umam”, hal. 15, al Qadhi Iyadh dalam “Ikmal al Mu’lim”, 6/220, An Nawawi dalam “Syarh Shahih Muslim”, 12/205 dan banyak lagi yang lainnya. Teks-teks ijmak sangat banyak dalam referensi-referensinya dan tidak perlu kami sebutkan disini. Para ulama juga sepakat, bahwa tujuan utama dari Imamah (kepemimpinan) atau khilafah adalah apa yang disebutkan oleh para ulama melalui lisan dan buku-buku mereka. Imam al Mawardi merangkumnya dalam perkataan beliau, “Imamah ditegakkan untuk menjalankan misi nubuwwah dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia, menyerahkannya kepada orang yang mampu melakukannya dalam umat ini merupakan kewajiban yang disepakati.”

Dengan demikian, tujuan dari khilafah dan imamah adalah menegakkan kemaslahatan agama dan dunia. Merealisasikan tujuan ini bisa saja dilakukan oleh seorang penguasa muslim di suatu negeri dari negeri-negeri kaum muslimin walau pun tidak ada khilafah. Penguasa itu harus didengar dan ditaati oleh orang-orang yang ada dalam kekuasaannya, walau pun kepemimpinannya bukan kepemimpinan yang besar (imamah ‘udzmaa) (kepemimpinan yang mencakup seluruh wilayah internasional –pent).

Al ‘Allamah Asy-Syaukani berkata dalam “As Sail Al Jarrar”, 4/512, “Dan adapun setelah Islam tersebar, semakin luas wilayahnya dan daerah-daerahnya kian berjauhan, maka dimaklumi, setiap wilayah memiliki pemimpin atau penguasa sendiri-sendiri. Aturan-aturan suatu wilayah hanya berlaku untuk orang-orang yang berada disana dan tidak berlaku bagi orang-orang yang ada di wilayah yang lain. Maka, tidak mengapa ada beberapa pemimpin atau penguasa, dan wajib untuk taat kepada masing-masing dari mereka -setelah pembaiatan- atas penduduk wilayah tersebut, yang berlaku padanya perintah serta larangannya. Begitu pun demikian untuk penduduk wilayah yang lain”.

Pernyataan ini juga dinukil dan dikuatkan oleh al ‘Allamah Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya, “Ikliil al Karaamah fii Tibyaan Maqaashid al Imamah”, hal. 125. “Hampir seluruh ulama dari berbagai madzhab membolehkan pemimpin lebih dari satu jika tidak dimungkinkan mengangkat satu Imam yang menegakkan hukum untuk seluruh negeri kaum muslimin, karena jarak yang berjauhan”.

Walaupun dalam masalah ini terdapat silang pendapat, namun ia tidak memberi pengaruh para permasalahan yang sedang kita bahas. Mereka membolehkan dalam kondisi ini, karena ia adalah kondisi darurat dan tidak mampu. “Ketidakmampuan menggugurkan perintah dan larangan, walaupun pada asalnya wajib.” (Majmu’ al Fatawa: 20/61).

Ada perbedaan antara situasi leluasa dan darurat. Orang yang tidak membedakan keduanya, ia berarti bodoh terhadap landasan rasional dan dalil. Ini yang terjadi pada banyak manusia. Mereka mengira bahwa agama ini tidak akan tegak selama belum tegak khilafah, tidak membedakan antara upaya kepada penegakkan khilafah yang hakiki, yang diperintahkan oleh syariat dan sekedar deklarasi khayalan yang hanya memuaskan sisi emosional, walaupun dalam realitasnya tidak merealisasikan tujuan-tujuan khilafah sebenarnya. Prasangka semacam ini mirip dengan prasangka sebagian orang yang tidak mengerti bahwa yang mampu menyebarkan keadilan dan menghilangkan kezaliman hanya Imam Mahdi. Sehingga kedua kelompok ini hanya bergantung kepada dua perkara ini (Khilafah dan Mahdi)

Perbincangan tentang khilafah Islamiyyah atau Imamah Kubra sangat panjang. Telah banyak para ulama yang menuliskannya dari dulu hingga sekarang. Membahasnya tidak akan selesai hanya dengan satu makalah atau tulisan yang ringkas. Oleh karena itu, pembahasan dalam tulisan ini akan dibatasi seputar deklarasi khilafah yang telah diumumkan di Irak saat ini (ISIS), dari sisi realitas sejarah dan tinjauan syariat.

Baca juga: Tauhid, Kunci Kejayaan Umat Islam

Pertama: Realitas Sejarah

Dengan menelusuri sejarah Islam, akan tampak dengan jelas bahwa banyak khilafah khayalan yang dideklarasikan dalam sepanjang sejarahnya, baik melalui klaim kedatangan Mahdi atau melalui jalur sekte-sekte khawarij yang sesat; dan mereka adalah orang-orang yang sangat terobsesi dengan khilafah, akan tetapi tanpa petunjuk dan al Qur`an.

Nampaknya –wallahu a’lam– ini telah menjadi karakter mereka. Adapun ahli sunnah wal jamaah, mereka tidak menetapkan nama khilafah atau imamah ‘udzma melainkan bagi orang yang benar-benar memiliki kekuasaan atas mayoritas mereka (kaum muslimin –pent) baik dengan kerelaan atau dengan penaklukan di berbagai daerah kaum muslimin.

Adapun seorang yang dibaiat oleh suatu penduduk daerah tertentu saja, atau berhasil menaklukan daerah itu saja, maka kekuasaannya hanya bersifat lokal atas mereka, tidak mencakup orang-orang yang tidak berbaiat kepadanya atau ditaklukkan olehnya. Beginilah seterusnya kemudian kemunculan masalah multi kepemimpinan yang telah dijelaskan tadi. Makalah ini tentu tidak akan mendiskusikan masalah ini dari sisi legal atau tidaknya.

Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Tidak pernah sama sekali umat ini bersepakat untuk mengangkat seorang khawarij menjadi pemimpin. Andai Allah memberi kekuasaan kepada mereka, maka akan rusaklah bumi ini… dan dengan demikian, ada belasan atau dua puluh orang dari mereka yang masing-masing pernah menyatakan bahwa dirinya adalah khalifah.” (Mukhatashar Ta`rikh Dimasyq: 26/390)

Diantara sepak terjang Khawarij

  1. Seorang pemuda khawarij mengklaim tegaknya khilafah di masa Abdulmalik, namun ia tidak berhasil meraihnya (Wafayatu al A’yaan: 2/455).

  2. Pada tahun 140 H, khilafah diklaim untuk pemimpin Ibadhiyyah (salah satu sekte khawarij –pent) bernama Abdul A’la bin Samah al Ma’aafiry. Berjalan selama empat tahun, hingga akhirnya ia dibunuh oleh al Manshur para rahun 144 H (Tarikh Ibnu Khaldun: 4/241).

  3. Di Thanja, khilafah diklaim untuk seorang amir khawarij, orang-orang menyebutnya dengan gelar amirul mukminin, kemudian ia dibunuh oleh Khalid bin Habib al Fihry (Tarikh Ibnu Khaldun: 6/145)

  4. Diantara mereka juga adalah raja al Mu’iz Ismail asal Kurdi, ia mengaku dirinya berasal dari Quraisy dari Bani Umayyah, ia pun menyatakan dirinya sebagai khalifah dan diberi gelar al Haady. Ia pun akhirnya mati pada tahun 598 H (Mukhtashar Tarikh Dimasyq: 26/390)

  5. Bahkan terkadang lebih dari satu orang mengumumkan khilafah dalam satu waktu. Ini yang terjadi di Andalusia. Sehingga pada abad kelima, di Andalusia saja, ada lima orang mendeklarasikan khilafah. (Al Waafi bil Wafayaat: 18/5).

Adapun klaim kedatangan Mahdi, maka ia sangat banyak. Cukup disini saya sebutkan contoh di masa sekarang:

Negeri ini (negeri dua tanah suci) telah mengalami kasus demikian. Pada akhir abad 14 (1385 – 1399), tatkala muncul sekelompok penuntut ilmu yang belajar kepada para ulama besar seperti Syaikh Bin Baz dan Syaikh al Albani rahimahumullah, penampilan mereka sunnah dan kehidupan mereka serba kekurangan. Orang-orang akan memandang ringan ibadahnya jika membandingkannya dengan ibadah mereka. Mereka memiliki kecenderungan yang ekstrim, namun mereka sangat jujur dan ikhlas.

Pemimpin mereka adalah Juhaiman al Utaiby, ia sering ke negara-negara teluk untuk mendakwahkan tauhid dan millah Ibrahim ‘alaihissalam. Hingga berkumpullah banyak para pemuda tanpa pengawasan para ulama. Sampai terjadilah fitnah yang besar –mirip dengan fitnah deklarasi khilafah pada hari ini- yaitu diumumkannya kedatangan Mahdi untuk Muhammad bin Abdullah al Qahthany, saudara ipar Juhaiman.

Saya pernah bertemu dengan al Qahthany ini pada tahun 1399 H, duduk dengannya dan shalat dibelakangnya shalat jahriyyah dimana engkau akan memandang rendah shalatmu jika dibandingkan dengan shalatnya. Kedatangan Mahdi ini diumumkan pada sekitar Muharram tahun 1400. Juhaiman dan jamaahnya masuk ke Masjidil Haram untuk melaksanakan shalat Fajr.

Sesaat setelah shalat Fajr, Juhaiman dan saudara iparnya ini berdiri di hadapan jamaah shalat mengumumkan kepada orang-orang –melalui pengeras suara Imam Masjidil Haram dan shalat pun disiarkan melalui radio- kabar kedatangan Mahdi yang ditunggu (al Muntadhar), pembaharu (mujaddid) agama ini, kemudian Juhaiman dan pengikutnya membaiat “Mahdi al Muntadhar” tersebut di hadapan jamaah shalat serta meminta kepada mereka untuk membaiatnya pula. Berdirilah sekelompok dari mereka dan membaiatnya.

Orang-orang ramai memperbincangkan kabar tersebut dan banyak para pemuda yang terfitnah dengannya –seperti para pemuda yang terfitnah oleh deklarasi khilafah saat ini-. Sebagian mereka ada yang melakukan safar untuk membaiatnya, ada yang membaiatnya di tempat, ada juga yang bingung dan ragu. Mereka pun dinasehati, bahwa ini adalah fitnah yang perkaranya harus dikembalikan kepada pandangan para ulama rabbani, karena sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan pandangan mereka dalam kesesatan, sehingga umat Muhammad tersesat karena mereka.

Tatkala banyak dari pada pemuda saat itu melihat para ulama kaum muslimin, para penuntut ilmu yang senior dan para dai yang tulus di seluruh dunia mengingkari kedatangan Mahdi ini, karena hadis-hadis yang shahih dan hasan tentang kedatangan Mahdi tidak cocok dengan sosok saudara Ipar Juhaiman, banyak diantara mereka yang menarik diri, dan sebagiannya tetap pada pendapatnya. Hingga fitnah ini dapat dipadamkan, Mahdi mereka dibunuh, Juhaiman dan para loyalisnya dihukum mati. Terbangunlah mereka dari tidurnya dan pupuslah mimpi mereka. Sungguh, hari ini sama dengan kemarin!

Kedua: Tinjauan Syariat

Telah dimaklumi di kalangan para ulama bahwa diantara syarat-syarat terpenting yang wajib ada pada khilafah Islamiyyah diatas manhaj nubuwwah, selain persyaratan Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, adil dan berasal dari suku Quraisy, adalah persyaratan Musyawarah dan Kekuasaan.

Musyawarah

Yang dimaksud musyawarah adalah musyawarah ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan para ulama, para tokoh, pemimpin dan orang-orang yang memiliki pandangan yang memiliki kemampuan untuk mengikat urusan-urusan dan melepaskannya. Yaitu orang-orang yang diikuti oleh manusia baik dari ahli agama atau dunia. Bukan ahlul halli wal aqdi sekelompok orang yang dipilih suatu jamaah kaum muslimin saja, baik dari kalangan jihadiyyah atau bukan, kemudian mereka disebut ahlul halli wal aqdi.

Lalu mereka ditanya, apakah Anda semua memilih si Fulan sebagai Khalifah? Dan mereka mengatakan, “Iya.” Tidak setiap orang yang disebut ahlul halli wal aqdi benar-benar ahlul halli wal aqdi. Nama tidak merubah hakikat yang dinamai sama sekali. Dalam Shahih Bukhari, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa yang membaiat seseorang tanpa musyawarah kaum muslimin, maka ia tidak dibaiat dan tidak pula yang membaiatnya, khawatir keduanya akan terbunuh.”

Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dan “Al Fath”, 12/150: “Dalam perkataan umar diatas terdapat isyarat agar berhati-hati dari sikap tergesa-gesa dalam urusan seperti itu, karena tidak ada sosok yang seperti Abu Bakar yang terkumpul padanya sifat-sifat terpuji; kepatuhan terhadap perintah Allah, lemah-lembut terhadap kaum muslimin, akhlak yang baik, wawasan tentang politik dan sikap warak. Orang yang tidak ada padanya seperti sifat-sifat beliau, dikhawatirnya dengan membaiatnya tanpa musyawarah akan muncul perselisihan yang mendatangkan keburukan.”

Sebuah kepemimpinan, walaupun seorang pemimpin kecil atas suatu negeri, harus memiliki ahlul halliwal ‘aqdi dari kalangan para ulama dan pemimpin. Dan ini sebagaimana yang telah lalu, berlaku dalam situasi lemah dan darurat. Setiap negara dipimpin oleh seorang penguasa muslim lebih baik dari pada keadaan manusia yang akan kacau tanpa aturan. Adapun kepemimpinan yang besar atau khilafah islamiyyah, maka ia tidak sah kecuali dengan musyawarah mayoritas ahlul halli wal ‘aqdi dari seluruh negeri. Imam Abu Ya’la dalam ‘al Ahkam al Sulthaniyyah’, 1/23 berkata, “(Khilafah) tidak sah tanpa mayoritas ahlul halli wal ‘aqdi.”

Syakhul Islam Ibnu Taimiah menyatakan dalam ‘Minhaj As Sunnah’, 1/526, tatkala beliau membantah sebagian ahli kalam yang berpendapat keabsahan imamah hanya dengan empat atau tiga atau kurang dari itu, beliau berkata, “Ini bukan pendapat para ulama ahli sunnah, walaupun sebagian ahli kalam berkata, “Imamah absah dengan baiat empat orang, sebagaimana sebagian mereka berkata, sah dengan baiat dua orang, sebagian lagi mengatakan sah hanya dengan baiat satu orang. Ini bukanlah perkataan para ulama sunnah. Imamah menurut mereka hanya dinyatakan sah dengan persetujuan para tokoh. Dan seseorang tidak menjadi seorang imam (pemimpin) yang sah, sampai ia disetujui oleh para tokoh yang dengan mengikuti mereka dalam memilihnya tercapai tujuan dari imamah itu sendiri. Sesungguhnya tujuan dari imamah adalah tercapainya kekuatan dan kekuasaan. Jika ia dibaiat dan dengan baiat tersebut tercapai kemampuan dan kekuasaan, maka ia berhak menjadi pemimpin.”

Bahkan Imam Ahmad rahimahullah, dinukil dari beliau dalam salah satu riwayat, bahwa imamah hanya sah dengan ijmak (kesepakatan). Beliau berkata, “Barangsiapa yang menjadi pemimpin khilafah, orang-orang sepakat dan ridha kepadanya, begitu pun dengan orang-orang yang ditaklukkannya dengan pedang, sehingga ia menjadi seorang khalifah dan disebut dengan amirul mukminin, maka membayarkan sedekah kepadanya boleh, baik ia orang yang baik atau orang yang jahat.”

Beliau juga berkata dalam riwayat Ishaq bin Manshur saat ditanya tentang hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mati dan tidak memiliki imam, maka ia mati dengan cara jahiliyyah.” Apakah makna hadis ini? Beliau berkata, “Apakah engkau tahu siapa itu imam? Imam adalah orang yang disepakati oleh kaum muslimin. Seluruhnya mengatakan, “Ini adalah imam.” Ini lah makna hadis tersebut.” (Lihat Minaaj as Sunnah: 1/530)

Disini terdapat hal yang perlu digarisbawahi, yaitu perbedaan antara baiat sekelompok orang untuk seorang laki-laki di kalangan mereka dengan keabsahan imamah untuknya serta terangkatnya ia menjadi khalifah untuk seluruh kaum muslimin dan keberhakannya memegang imamah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam ‘Minhaj As Sunnah’: 1/531, “Andai Umar dan sekelompok orang yang bersamanya membaiatnya (yaitu Abu Bakar) dan para sahabat yang lain menolak baiat tersebut, maka Abu Bakar tidak akan menjadi pemimpin dengan hal itu. Ia hanya akan menjadi seorang pemimpin dengan pembaiatan mayoritas para sahabat, orang-orang pemilik kemampuan dan kekuatan. Oleh karena itu penolakan Sa’ad bin Ubadah tidak teranggap, karena hal itu tidak mencacati tujuan dari kepemimpinan, yaitu tercapainya kekuatan dan kekuasaan yang dengan keduanya terwujud kemaslahatan-kemaslahatan imamah. Dan hal itu, telah tercapai dengan persetujuan mayoritas. Barangsiapa yang mengatakan bahwa seseorang dapat menjadi seorang pemimpin hanya dengan persetujuan satu, dua atau empat orang, dan mereka bukanlah pemilik kemampuan dan kekuatan, maka ia telah salah, sebagaimana orang yang menganggap penolakan satu atau dua orang atau sepuluh mempengaruhi keabsahannya pun telah salah.

Kekuasaan

Tidak sah bagi pihak manapun untuk mendeklarasikan khilafah atas seluruh kaum muslimin dan mengangkat seorang pemimpin untuknya, lalu meminta seluruh kaum muslimin di seluruh dunia untuk berbaiat kepadanya sebagai khalifah kaum muslimin, padalah ia tidak memiliki kekuasaan, tidak dapat melindungi orang-orang yang dekat dengan mereka, apalagi orang yang jauh dari mereka. Ini adalah omong kosong dan kedunguan. Mendirikan khilafah bukan dengan sekedar klaim dan deklarasi. Apa nilainya sebuah deklarasi yang tidak memiliki hakikat dalam wujudnya?

Barangsiapa yang menaklukkan salah satu wilayah kaum muslimin, kemudian ia mengangkat dirinya menjadi khalifah untuk seluruh kaum muslimin, maka seakan-akan ia menganggap dirinya telah menaklukkan seluruh negeri-negeri kaum muslimin, ini adalah perkara yang tidak sesuai dengan nalar dan realitas, maka dari itu ia pun tidak sesuai dengan syariat. Bahkan, ia menunjukkan reduksi yang besar dalam memahami hukum-hukum imamah dan yang terkait dengannya.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kedua shahihnya dari hadis Abu Zinad, dari al A’raj dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pemimpin itu adalah perisai, diperangi dibelakangnya dan dijadikan pelindung.”

Al Hafidz An Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Pemimpin itu adalah perisai” maksudnya seperti pelindung, karena ia mampu mencegah musuh agar tidak mengganggu kaum muslimin, menghalangi sebagian manusia dari sebagian, membela Islam, disegani manusia dan mereka menakuti kekuatannya. Makna “Diperangi di belakangnya” maksudnya diperangi bersamanya orang-orang kafir, para pemberontak, orang khawarij dan seluruh pelaku kerusakan dan kezaliman.” Ibnu Hajar dalam ‘al Fath’ dan para pensyarah hadis ini juga menjelaskan yang sepertinya.

Maka, bagaimana mungkin seorang dari kaum muslimin dibaiat sebagai pemimpin atas mereka padahal ia tidak dapat melindungi mereka?! Imamah juga memiliki hak dan kewajiban. Orang yang tidak mampu menunaikan hal yang Allah wajibkan atasnya terkait dengan hak rakyatnya, maka hendaknya ia tidak meminta mereka untuk menunaikan haknya atas mereka.

Maka, seseorang tidak dianggap sebagai khalifah atas kaum muslimin, melainkan jika pada dirinya benar-benar terdapat syarat-syarat khilafah ini, dari sisi kekuatan dan kekuasaan atas mayoritas kaum muslimin. Jika tidak demikian, Imamahnya bukanlah Imamah yang besar, paling tidak hanya pemimpin atas suatu daerah yang telah dikuasainya saja. Yang menjadi standar adalah hakikat dan makna, bukan sekedar makna dan tampilan.

Baca juga: Salah Kaprah Istilah “Khalifah”

Kehati-hatian Daulah-Daulah Islam dalam Mendeklarasikan Khilafah

Siapa saja yang memperhatikan Khilafah Islamiyyah dari sejak masa Khulafa Rasyidin hingga jatuhnya Khilafah Ustmaniyyah (Othoman), ia akan melihat bahwa masing-masing dari khalifah itu memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar atas banyak kaum muslimin di zamannya. Adapun para Khulafa Rasyidun dan dua daulah: Umawiyyah dan Abbasiyyah, maka ini sangat jelas, khalifah demi khalifah memegang tampuk kepemimpinannya. Berikut adalah paparan untuk realitas sejarah yang dekat:

Daulah Utsmaniyyah

Tatkala daulah Abbasiyyah mulai melemah, para pemimpinnya terpecah belah dan daulahnya terpisah-pisah, hingga menjadi kerajaan-kerajaan dan pemerintahan-pemerintahan yang terpisah-pisah. Posis Khalifah saat itu hanya tinggal wujudnya saja, tanpa kekuasaan di bawahnya.

Dari sini lah mulai nampak benih-benih kemunculan Daulah Utsmaniyyah. Pada tahun 618 H, Arthgrl memimpin Turkiman Muslimin dan menguasai daerah yang cukup luas dari wilayah Turki, namun ia tidak mendeklarasikan khilafah. Kemudian ia wafat pada tahun 687 H dan digantikan oleh putra sulungnya Ustman, dialah pencetus pertama Daulah Utsmaniyyah.

Ia mulai memperluas kekuasaannya, hingga pada tahun 688 H, ia berhasil menguasai Benteng Sauda, kemudian melakukan perluasan dan menjadikan Madinah Bani Syahr –Kota Baru- sebagai pusat kekuasaannya. Ia menggelari dirinya dengan Badisyah Ali Utsman dan membuat bendera untuk daulahnya (yaitu bendera yang digunakan oleh negara Turki saat ini), namun ia juga tidak mendeklarasikan khilafah.

Keadaan terus berlangsung hingga tiba masa Salim Awwal (918 – 926 H) yang berupaya untuk menyatukan seluruh negeri Islam yang belum berada dalam kekuasaannya. Hingga saat itu pun, ia tidak mendeklarasikan khilafah.

Di masa itu, Shafawiyyin yang bersekutu dengan Portugis melawan kaum muslimin. Mereka berhasil dikalahkan dalam perang Jaldiran pada tahun 920 H. beberapa hari setelah itu, Sultan (bukan khalifah) Salim Awwal memasuki kota Tabriz dan menaklukkannya. Tidak lama setelah mengalahkan Shafawiyyin, pada tahun 922, ia memerangi seluruh kerajaan-kerajaan dan berhasil menaklukkannya pada perang Maraj Dabiq, setelah penguasa Syam bergabung dengannya. Dengan peperangan ini, seluruh wilayah Syam berada dalam genggamannya begitu pun Anadhul seluruhnya di bawah kekuasaannya, dan ia pun tidak mendeklarasikan khilafah.

Pada tahun 923, terjadi perang Ridaniyyah, ia adalah peperangan terakhir melawan kerajaan-kerajaan tersebut dan Sultan Salim Awwal berhasil memenangkannya. Akan tetapi ia juga tidak mendeklarasikan khilafah.

Dengan berakhirnya kekuasaan raja-raja itu, berakhirlah masa kepemimpinan khalifah dari Abbasiyyah yang sebagaimana tadi telah digambarkan, tidak memiliki kekuasaan apa pun. Lalu daerah Hijaz masuk ke dalam wilayah Daulah Ustmaniyyah. Saat itu lah, (ada juga yang mengatakan sebelumnya) Sultan Salim Awwal diberi gelar Khalifah kaum muslimin, kepemimpinan Ustmani berubah status dari Daulah menjadi Khilafah. Itu terjadi pada tahun 926 H, yaitu setelah lebih dari 300 tahun dimulainya kepemimpinan keluarga Utsman. Tidakkah orang-orang yang tergesa-gesa mengambil pelajaran?!

Daulah Su’udiyyah Pertama

Imam Mujaddid Muhammad bin Abdulwahhab bersekutu dengan Imam Muhammad bin Su’ud pada tahun 1157 H.

Pada saat itu perkembangan dan perluasan daulah Su’udiyyah pertama dimulai. Banyak negeri-negeri Najd berhasil dikuasai. Pada tahun 1165, daerah Huraimla takluk. Kemudian Quwai’iyyah pada tahun 1169. Imam Muhammad bin Su’ud wafat pada tahun 1179 H. Kepemimpinan digantikan oleh putranya Abdulaziz. Ia melanjutkan perjalanannya bersama Imam Muhammad bin Abdulwahhab, hingga sang Imam pun wafat pada tahun 1206 H setelah Daulah Su’udiyyah pertama dimasanya berhasil menguasai banyak wilayah Najd.

Namun ia tidak mendeklarasikan khilafah. Padahal ia berperang bersama dua pemimpin; Muhammad dan Abdulaziz sekitar 50 tahun, dan wilayah kekuasaan Daulah Su’udiyyah pertama setelah wafatnya sang Imam telah mencakup hampir seluruh Jazirah Arab di masa Imam Abdullah bin Su’ud, yang kepemimpinannya berakhir pada tahun 1234 H. Dengannya, berakhir masa Daulah Su’udiyyah pertama, dan tidak seorang pun dari mereka yang mendeklarasikan khilafah, padahal daulah mereka berjalan sekitar 80 tahun.

Thaliban

Kekuasaan Thaliban di Afganistan berjalan selama 6 tahun dari tahun 1417 H hingga tahun 1423 H. Di masa itu, Thaliban telah menguasai seluruh wilayah Afganistan. Namun demikian, mereka menamainya dengan ‘Imarah Afganistan Islamiyyah’ dan tidak mendeklarasikan khilafah. Mereka juga menggelari pemimpinnya dengan amirul mukminin, bukan dengan khalifatul muslimin. Ia juga tidak meminta kaum muslimin di India, Cina, Jazirah Arab, Maroko, kaum muslimin di Eropa, Amerika dan Arfika untuk berbaiat kepadanya.

Baca juga: Lebih Penting Khilafah ataukah Dakwah Tauhid?

Sejumlah Pertanyaan Banyak Para Pemuda

Sebagian mereka mengatakan, kita menyaksikan, mendengar dan membaca pihak ini dan pihak itu. Masing-masing mengungkapkan argumentasinya, untuk menyatakan bahwa pendapatnya adalah yang hak dan benar. Masing-masing berargumentasi dengan ayat-ayat dan hadis-hadis, masing-masing juga menukilkan pendapat para ulama terdahulu untuk menguatkan pendiriannya.

Kemudian, diantara para pendukung khilafah ini, kita mendapati diantara merekapara mujahid yang telah berkorban untuk agama ini dengan darah dan jiwanya, melawan musuh dengan sangat mengagumkan hati orang-orang yang beriman, bersiaga di bawah terik matahari dan cuaca dingin.

Sementara kita mendapati orang-orang yang mengingkari para pendukung daulah hanya duduk manis di rumahnya sambil menulis, jauh dari medan-medan pertempuran, dalam rasa aman, menulis sambil duduk di kursi-kursi empuk, di balik layar-layar komputer, dalam ruangan ber-AC. Bagaimana mungkin Anda menginginkan kami untuk meninggalkan pendapat yang pertama dan mengambil pendapat orang kedua?!

Sebagian mereka berkata, kami telah berputus asa dari perkataan kalian. Dari sejak 100 tahun yang lalu kalian menggembar-gemborkan seputar pentingnya mengembalikan khilafah Islamiyyah, namun kami tidak pernah melihat kalian mengerjakan sesuatu untuk mengembalikannya kecuali hanya omongan belaka. Ada pun mereka, para pejuang itu telah mewujudkan mimpi kami yang sangat besar dan merealisasikannya secara nyata dengan darah dan senjata mereka. Apakah kita akan meninggalkan realitas yang nyata, yang ramai dibicarakan oleh hampir seluruh media dan menggentarkan negara-negara kafir, lalu kami mengambil perkataan para pemalas semacam kalian?!

Pertanyaan-Pertanyaan Diatas Mengandung Tiga Syubhat:

  1. Para pendukung khilafah telah merealisasikannya secara nyata, sementara orang-orang yang menentang mereka hanya bisa berbicara.

  2. Para pendukung khilafah adalah ahli tsughur (para pejuang di medan perang), sementara orang-orang yang menentang mereka adalah ahli dutsur (yang bergelimang harta).

  3. Semuanya berargumentasi dengan ayat, hadis dan perkataan para ulama terdahulu.

Berikut adalah jawabannya:

Adapun syubhat pertama, bahwa para pendukung khilafah telah merealisasikannya secara nyata, hal ini sudah dibantah dalam penjelasan yang lalu. Bahkan, makalah ini seluruhnya ditujukan untuk membantah kesimpulan itu. Kita katakan, yang menjadi ukuran adalah hakikat dan makna, bukan sekedar nama dan bentuk. Mendeklarasikan sesuatu bukan berarti mengerjakan atau mewujudkannya. Mewujudkannya secara lahir tidak juga berarti menunjukkan keabsahannya, dalam hadis, “Shalatlah, sesungguhnya engkau belum shalat.” Padahal orang itu sujud, rukuk, menunduk dan bangkit.

Adapun syubhat kedua, bahwa para pendukung khilafah adalah para pejuang di medan perang (ahli tsughur) dan orang-orang yang menentangnya adalah sekedar para penikmat harta, maka bantahan atas hal ini dari dua sisi:

Pertama: telah lalu pembahasan dalam makalah yang berjudul “Isykaliyyatu al Ghuluw fil Jihad al Mu’ashir” (Problem Radikalisme dalam Jihad Kontemporer) dalam kajian ketujuh, pada bantahan atas pernyataan, “Jika manusia berselisih, maka bertanyalah kepada ahli tsughur”, silahkan dirujuk kembali makalah tersebut. Intinya, ahli tsughur tidak memiliki otoritas yang melebihi ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan para ulama dan yang lainnya dalam mengangkat seorang khalifah kaum muslimin.

Kedua: realitasnya tidak demikian. Mayoritas ahli tsughur dari kalangan mujahidin, kelompok-kelompok besar, aliansi-aliansi dan faksi-faksi jihad yang ada tidak mendukung deklarasi khilafah, tidak membaiat mereka (ISIS), maka dalil itu berbalik atas mereka.

Adapun syubhat ketiga, bahwa seluruhnya berargumentasi dengan ayat, hadis dan perkataan para ulama yang terdahulu untuk menguatkan pendapatnya, maka saya katakan: Yang menjadi ukuran bukan sekedar berargumentasi dan menukil, yang menjadi ukuran adalah bagaimana cara argumentasinya? Bagaimana kapasitas ilmiah orang yang berargumentasi dengan ayat, hadis dan perkataan para ulama ini?

Jika kita memperhatikan substansi masalah kita saat ini, maka kita tidak menemukan dari para ulama rabbani yang dalam keilmuannya, yang terkenal keshalehan, ketakwaan dan jauhnya mereka dari syubhat, yang mendukung khilafah ini.

Bahkan, para tokoh intelektual pergerakan jihad kontemporer saat ini pun secara tegas menolaknya. Kita melihat, hanya para pemuda tanggung dan orang-orang bodoh –kecuali sedikit diantara mereka- yang mendukung khilafah ini.

Jika Anda menelusuri seluruh alam Islami dari timur sampai ke barat, dari selatan sampai ke utara, Anda akan melihat bahwa seluruh para ulama, penuntut ilmu dan para da’i, mereka sepakat, seluruhnya mengingkari keabsahan khilafah ini, tidak meridhainya, dan tidak memandang bahwa syarat-syarat khilafah telah terpenuhi padanya. Tidakkah ini cukup sebagai bukti kebatilannya?

Para ulama rabbani yang dalam keilmuaanya adalah timbangan yang detail, saat terjadi kesimpang siuran, banyaknya fitnah, ketidakjelasan perkara dan kebingungan manusia. Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan mereka dalam kesesatan.

Kesimpulannya: Jika keumuman kaum muslimin di seluruh negeri membaiat seorang diantara mereka, maka ia adalah khalifah mereka. Wilayah itu disebut khilafah. Jika tidak, ia hanya salah satu Imarah, dan penguasa suatu wilayah itu adalahhakim atau amir yang khusus untuk orang-orang yang ada disana.

Dengan demikian, kepemimpinan yang tidak berkumpul padanya Umat ini, bukanlah kepemimpinan yang bersifat umum, tidak boleh disandangkan nama khilafah padanya, walau pun ia mendeklarasikannya. Kita memohon kepada Allah agar Dia berkenan mengembalikan orang-orang yang tersesat di kalangan kaum muslimin kepada kebenaran, dan memberi petunjuk kepada kita kepada jalan-jalan keselamatan.

Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad, wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallim

Baca juga: Apakah Sistem Monarki Diakui Oleh Syariat?

18 Syawwal 1435

Oleh: Asy Syaikh Al Habib Alawy bin Abdulqadir As Segaf (Pembina Umum Yayasan Durar Saniyyah)

Penerjemah: Ustadz Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc.

Artikel: muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/22428-deklarasi-khilafah-islamiyyah.html